Featured Posts
Recent Articles

Politik Pengorbanan

PARA politisi di negeri ini harus belajar dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim: rela menjadikan anaknya, Ismail, untuk disembelih sebagai kurban seperti yang diperintahkan Allah. Nabi Ibrahim bersama Ismail tak keberatan menjalankan perintah tersebut. Nabi Ibrahim juga tidak protes kepada Allah karena harus menyembelih putranya. Nabi Ibrahim hanya menakuti Allah, tidak takut kehilangan anaknya.
Ketakwaan Nabi Ibrahim
  
Sikap rela berkorban seperti itulah yang tidak dimiliki kebanyakan politisi di negeri ini. Hal yang paling nyata bisa kita lihat ketika manusia-manusia yang bergelut dalam kompetisi politik –baik pilkada ataupun pemilu– rela menggelontorkan duit dalam jumlah yang besar agar bisa menang. Tatkala jabatan telah diperoleh, mereka enggan mengorbankan kepentingan pribadinya untuk memperkaya diri atau paling tidak mengembalikan modal kampanye. Yang dikorbankan justru kepentingan rakyat.
  
Perilaku politisi semacam ini semakin memuluskan sirkuit M-P-M: money-power-money (Hidayat, 2009). Artinya: money dipakai untuk memeroleh power; lalu power digunakan untuk meraup money kembali. Kita belum pernah melihat ada seorang politisi yang sudah menghabiskan dana (begitu) besar dalam kampanye, lalu rela mengorbankan apa yang telah dihabiskannya demi mewujudkan kemaslahatan umat. Politisi yang memeroleh kekuasaan dengan nafsu bejat serta menghalalkan segala cara tentu akan enggan berkorban untuk mendahulukan kepentingan rakyat.
  
Idul Adha atau Hari Raya Kurban bukan sekadar ritual menyembelih hewan kurban. Ada pesan atau nilai kebajikan yang terkandung di dalamnya: manusia yang bertakwa pada Allah harus ikhlas mengorbankan segala hal yang diperintahkan untuk dikorbankan; mengorbankan sedikit waktu untuk shalat; mengorbankan sedikit rezeki untuk disedekahkan bagi yang membutuhkan; mengorbankan nyawa untuk membela agama Allah. Semua pengorbanan yang dilakukan harus berlandaskan pada keikhlasan atau niat bertakwa pada Allah, bukan untuk pencitraan politik, meraih simpati publik atau popularitas.
  
Nilai ketulusan berkorban dalam Idul Kurban, jika dikontemplasikan serta diaktualisasikan dalam politik keseharian, tentu akan akan mengubur egoisme yang mengutamakan prive pada perilkau para politisi dan selanjutnya akan menumbuhkan sikap rela berkorban untuk memperjuangkan kebutuhan rakyat sebagai yang utama, bukan kepentingan diri atau kelompok.
  
Realitanya, tak jarang egoisme yang tampak melalui sikap atau watak emoh berkorban yang menetap dalam batin seorang politisi membawa efek yang merusak. Segala daya upaya ditempuh agar kepentingan pihak lain yang mengancam kepentingan diri bisa dijegal. Saling fitnah, menghujat, hingga membunuh, menjadi kebiasaan para politisi vandal yang menghiraukan atau tidak menjadikan moral sebagai keutamaan dalam kehidupan berpolitik.
  
Andai politik diisi politisi yang berani mengorbankan apa yang –atau hendak– dimilikinya, kendati itu sangat berharga, seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim, tentu kebusukan dalam politik –yang katanya tak pernah tak akan beraroma antagonis– akan menghilang. Pada titik inilah politik akan menjadi indah: menjadi seni yang sesungguhnya, seni untuk membahagiakan atau menyejahterakan rakyat dan menenteramkan negara.
  
Namun bukannya tak ada hal yang dikorbankan politisi di negeri ini. Salah satu yang telah dikorbankan adalah kedaulatan rakyat dan negara. Diberilah kesempatan untuk para investor tamak –baik domestik maupun asing– untuk mengisap segala hal yang dapat “disulap” menjadi uang. Rakyat yang marah dan memberontak sebab kedaulatan negaranya dikorbankan demi pemenuhan hasrat ekonomi segelintir elite, dituduh pengacau dan ditumpas. Sungguh keji!
  
Wasilah politisi-pengusaha tamak bukan untuk memikirkan bagaimana caranya agar rakyat terberdayakan, melainkan untuk mengejar kepentingan pribadi. Watak politisi yang seperti ini mengindikasikan bahwa partikularisme telah merebak di dalam politik, yang membunuh budaya saling menghargai dan memperjuangkan kepentingan bersama yang dibangun atau disepakati rakyat dan politisi yang menata (politik) negara.
  
Budaya individualisme yang eksis dalam kehidupan berpolitik akan mendorong manusia-manusia yang bekerja di dalamnya untuk membumikan partikularisme: sebuah sistem yang mengedepankan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum. Pada tahap selanjutnya, masing-masing individu itu berhimpun menjadi koininea politike yang abai pada kemaslahatan umat.

Politisi semacam ini tidak akan rela mengorbankan sesuatu yang dianggapnya berharga, kendati itu dibutuhkan oleh dan menyangkut kelangsungan hidup orang banyak. Politik, oleh politisi yang egois, bukan dijadikan alat untuk mewujudkan keluhuran sehingga mengubur jalan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan yang merata.

Politisi yang lebih mementingkan hasrat pribadi tentu lebih takut pada gertakan sesama politisi, takut jika hartanya berkurang, takut tak kelihatan mewah, takut kalah pemilu, takut modal kampanyenya tidak kembali, takut pada ancaman pemodal, bukan takut pada Allah. Tentu saja perilaku politisi semacam ini mempertontonkan kemusyrikan: tidak takut kepada Allah, tetapi malah menuhankan uang, pemodal tamak, atau politisi.

Tentu tidak akan ada seorang pun politisi yang akan bersedia mengaku lebih menakuti manusia ketimbang Tuhan. Kalau ini dilakukan, tentu saja publik akan menghujatnya. Implikasinya: citranya akan memburuk. Lalu ditampilkanlah keseolah-olahan: seolah-olah beriman; seolah-olah beradab; seolah-olah arif; seolah-olah berbudi pekerti. Jelas ini bertentangan dengan pernyataan yang selalu diucap dalam shalat: wa ma ana minal musyrikin.

Seorang politisi yang musyrik dan munafik tentu saja perbuatan dan perkataannya dalam politik keseharian tidak sesuai dengan pernyataan tersebut. Ia boleh saja berkata “wa ana minal muslimin” dan menyangkal bahwa ia seorang yang musyrik. Tetapi kekidiban perilaku seorang politisi bisa telanjang manakala bisa dilihat kepada siapa sesungguhnya ia takut, juga bisa dilihat dari setiap yang diperjuangkannya.

Sebab ia takut pada ancaman pemodal, bukan pada azab Allah, maka ia akan memperjuangkan apa yang dperintahkan pemodal, bukan menuruti Allah. Ia tak akan mengorbankan nyawa untuk membela umat yang melarat. Ia tak akan membela orang miskin yang rumahnya digusur saudagar tamak untuk mendirikan hotel.

Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan sesuatu yang berharga baginya, Nabi Ismail yang pernah rela dirinya dikorbankan demi melaksanakan perintah Allah, hendaknya menjadi kisah yang perlu dihayati serta ditiru oleh para politisi di negeri ini. Egoisme hendaknya dikubur ketika kepentingan bersamalah yang paling mendesak diwujudkan. Yang harus dikorbankan para politisi bukanlah kebutuhan rakyat, tetapi diri sendiri demi bisa meraih apa yang dikehendaki rakyat. Sebab, berani berkorban adalah salah satu ciri seorang politisi yang berwibawa, yang beriman.

Bisma Yadhi Putra
Anggota Bidang Kajian Politik pada Sekolah Demokrasi Aceh Utara

Sumber : http://suar.okezone.com/read/2012/10/29/58/710376/politik-pengorbanan

Share and Enjoy:
We will keep You Updated...
Sign up to receive breaking news
as well as receive other site updates!
Subscribe via RSS Feed subscribe to feeds
Sponsors
Template By SpicyTrickS.comSpicytricks.comspicytricks.com
Template By SpicyTrickS.comspicytricks.comSpicytricks.com
Popular Posts
Recent Stories
Connect with Facebook
Sponsors
Recent Comments