Home » Archives for September 2011
Syahrut Tarbiyah Pasca Ramadhan
Posted in
Artikel
|
9/12/2011|
Admin
Alhamdulillah, sebulan bersama Ramadhan sudah berlalu. Ada sebagian kaum muslimin senang, karena tradisi menahan lapar dan haus selesai. Mereka merayakan kesudahan berpuasa bagaikan seorang anak kecil yang menganggap puasa sekedar bicara lapar dan haus.
Bagi mereka, kesudahan berpuasa menjadi impian terindah. Tidak heran, ketika akhirnya puasa menjelang akhir yang diributkan bukan bagaimana menghabiskan sepuluh hari terakhir dengan itikaf. Mereka lebih berpikir apakah baju lebaran sudah dibeli dan apakah uang THR sudah turun.
Tidak jarang, banyak terjadi kesempatan mudik menjadi momentum untuk tidak berpuasa. Konsepsi ini sangat memprihatinkan karena mempersempit makna hari kemenangan dimana takbir menggema. Idul Fitri dimaknai sebagai takbiran keliling kota, petasan dan melepas kepenatan berpuasa. Semoga kita dijauhkan dari perilaku seperti itu.
Tapi fenomena sebaliknya justru terjadi pada sebagian kaum muslimin. Bagaimana tidak, bulan pembinaan kesucian hati, pikiran dan pribadi terlewati. Sebuah bulan yang seperti digariskan Rasulullah. “Dalam bulan biasa, pahala setiap kebajikan dilipatgandakan 10 kali lipat, namun dalam bulan Ramadhan pahala amalan wajib dilipatgandakan 70 kali lipat dan amalan yang sunah disamakan dengan pahala amalan wajib di luar Ramadhan.” (HR Muslim)
Hati siapa tidak senang, sebuah pahala digandakan. Belum ditambah kejutan, datangnya malam Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar. Setiap muslim disunnahkan beritikaf selama sepuluh hari Ramadhan. Tidak ketinggalan, kita diminta berpuasa hati, mulut, pikiran dan anggota tubuh lainnya. Sungguh bulan sempurna syahrut tarbiyah bertajuk Ramadhan. Sadar atau tidak, kita diajarkan sekaligus diminta tazkiyatun nafs.
Di perjumpaan akhir, bagaikan proses kelahiran kupu – kupu. Ramadhan itu kepompong yang melahirkan kupu – kupu indah berupa tercapainya gelar manusia yang bertaqwa. Sebuah predikat indah yang disayangkan tidak semua orang mampu mendapatkannya.
Tarbiyah Pasca Ramadhan
Bagaimana pasca Ramadhan? Pertanyaan ini menarik sebab banyak kita tidak menyadari Ramadhan itu prosesi awal dari 11 bulan berikutnya. Bagaimana Allah menguji kita, apakah kebiasaan tilawah minimal sehari satu juz dapat bertahan. Ketika Ramadhan kita sibuk tadarus Al –Qur’an, tiada hari tanpa membaca firman Allah. Itu mengapa hati kita selalu tenang selama menjalani sakralitas ibadah shaum. Sebab kalimat Al –Qur’an mengandung bahasa indah pertemuan hamba dengan Rabb-Nya. Keinginan menghabiskan waktu tilawah ini juga karena Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. Tarmidzi)
“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. Tarmidzi)
Selain persoalan tilawah, pasca Ramadhan menjadi indikator mengukur ibadah harian kita. Banyak terjadi semangat beribadah selama Ramadhan meninggi. Kondisi sebaliknya terjadi pasca Ramadhan, kita mudah sekali “amnesia” terhadap keindahannya. Kebiasaan puasa sunnah, yaumul bidh, menahan diri dari ghibah dan amal kebaikan lainnya menurun. Itu mengapa, penulis mengatakan peran strategis justru sesungguhnya terjadi pasca Ramadhan.
Ketika selesai ramadhan sebagai bulan syahrut tarbiyah, ada baiknya kita merenungkan kembali empat produk tarbiyah yang tidak boleh dilupakan.
Pertama, tarbiyah ruhiyah. Pada dasarnya agenda pembinaan spiritual selama Ramadhan melatih lidah kita untuk berpuasa dari marah, ucapan kotor, dusta, sifat dengki dan berkata kasar. Proses itu berujung terciptanya manusia sholeh (pribadi dan sosial), meningkat keimanannya dan berakhlak mulia seperti yang dicontohan Rasulullah. Banyak cara menjalaninya seperti dzikrullah, tilawah dan membiasakan jujur.
Kedua tarbiyah jasadiyah. Sudah banyak kajian kesehatan mengungkapkan manfaat berpuasa. Muslim yang berpuasa dapat membersihkan usus, memperbaiki kerja pencernaan dan mengurangi kegemukan. Sebab hakikat berpuasa dasarnya menenangkan kejiwaan manusia dari berbagai aspek materil. Untuk itu, kebiasaan berpuasa bukan menjadi alasan seseorang malas olahraga dan menjalani aktivitas fisik lainnya.
Ketiga tarbiyah ijtima’iyah yang mendorong terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Pendidikan sosial berpuasa adalah menghapuskan kesenjangan antar kalangan kaya dan miskin. Seorang kaya yang berpuasa sehari penuh diajak ikut menjalani penderitaan si miskin yang kadang untuk makan sehari saja sulit. Puasa juga melahirkan sikap solidaritas melalu anjuran untuk memperbanyak sedekah. Nilai sosial ini dilengkapi kewajiban mengeluarkan zakat, sehingga kalangan tidak mampu dapat merasakan nikmatnya Hari Raya Idul Fitri.
Keempat tarbiyah khuluqiyah (pembinaan akhlak). Rasulullah bersabda “Apabila seorang dari kamu sekalian berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan berteriak. Bila dicela orang lain atau dimusuhi, maka katakanlah: “Aku ini sungguh sedang puasa”. Dalam hadits lain disebutkan: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak mampu meninggalkan perkataan dusta, dan melakukan perbuatan dusta, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan dahaga mereka” (HR Bukhari dan Abu Dawud).
Akhirnya kita mengharapkan kepada Allah agar tidak menjadi hamba yang merugi. Seorang hamba yang mudah melupakan nilai – nilai keagungan Ramadhan. Sebab sudah seharusnya kebiasaan selama Ramadhan dilanjutkan agar kelak menjadi saksi kita di hadapan Allah nanti. Semoga Allah menjadikan puasa kita berkah dan membantu kita menghabiskan sebelas bulan berikutnya dengan ibadah kepadaNya.
Penulis berharap, semoga tulisan ini menjadi refleksi kita bersama memaknai Ramadhan yang baru saja dilewatkan. Sudah saatnya kita meningkatkan latihan lebih keras untuk terus mentarbiyah spiritual, jasadiyah, ijtima’iyah dan khuluqiyah. Semoga Allah meringankan kaki kita, untuk dapat menikmati keindahan syurga-Nya kelak.
Inggar Saputra
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan Peneliti Institute For Reform Sustainable
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan Peneliti Institute For Reform Sustainable
sumber : http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/inggar-saputra-pengurus-kammi-pusat-syahrut-tarbiyah-pasca-ramadhan.htm
Integrasi Politik dan Dakwah
Posted in
Artikel
|
9/09/2011|
Admin
Sebuah Bahan Perenungan
Sering ada diskursus publik yang tidak konstruktif ketika berbincang di wilayah hubungan antara politik dengan agama atau dakwah. Hal ini sudah berlangsung dalam waktu lama, sebagaimana tampak dalam ungkapan Syaikh Hasan Al Banna, “Sedikit sekali orang berbicara tentang politik dan Islam, kecuali ia memisahkan antara keduanya, diletakkan masing-masing secara independen. Menurut mereka keduanya tidak mungkin bersatu dan dipertemukan. Untuk itulah organisasi mereka disebut organisasi Islam non politik. Pertemuan mereka adalah pertemuan keagamaan yang tidak mengandung unsur politik, dan hal ini bisa dilihat dari Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga mereka suatu ungkapan: Tidak mencampuri urusan politik”.
Untuk itu, ketika memberikan batasan pemahaman Islam, Syaikh Hasan Al Banna memberikan sebuah gambaran yang utuh tentang universalitas dan integralitas Islam. Beliau mengungkapkan, “Islam adalah sebuah sistem universal yang lengkap dan mencakup seluruh aspek hidup dan kehidupan. Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan rakyat, akhlaq dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, tentara dan pemikiran, sebagaimana Islam adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih”.
Tampak dari penggambaran tersebut sebuah definisi Islam yang teramat luas, mencakup segala aspek kehidupan kemanusiaan, tak ada yang ditinggalkan. Politik adalah salah satu bagian utuh dari perhatian Islam, agar manusia bisa melaksanakan fungsi kekhalifahan di muka bumi dengan baik, memakmurkan alam semesta dan memimpin umat manusia menuju kebaikan hidup di dunia maupun akhirat.
Selanjutnya Syaikh Hasan Al Banna menegaskan, “Setelah batasan global dari makna Islam yang syamil dan substansi makna politik yang luas dan tidak terkait dengan kepartaian ini, saya bisa mengatakan secara terus terang bahwa seorang muslim tidak akan sempurna Islamnya kecuali jika ia seorang politisi, mempunyai jangkauan pandangan yang jauh, dan mempunyai kepedulian yang besar terhadap umatnya”.
“Saya juga bisa katakan bahwa pembatasan dan pembuangan makna ini (yakni: pembuangan makna politik dari substansi Islam) sama sekali tidak pernah digariskan oleh Islam. Sesungguhnya setiap jam’iyah Islamiyah harus menegaskan pada garis-garis besar programnya tentang perhatian dan kepedulian jam’iyah tadi terhadap persoalan-persoalan politik umatnya. Kalau tidak seperti itu, jam’iyah tadi butuh untuk kembali memahami makna Islam yang benar”, demikian Al Banna memberikan penjelasan yang gamblang kepada kita.
Oleh karena itu, suatu ketika dalam sebuah forum, Al Banna mengungkapkan, “Biarkan saya untuk bersama kalian berpanjang lebar dalam menegaskan makna ini, di mana hal itu mungkin sesuatu yang mengejutkan dan asing di mata mereka yang terbiasa mendengarkan senandung pemisahan antara Islam dan politik”.
Para ulama terdahulu telah memberikan penjelasan dan pembahasan yang memadai mengenai aspek politik. Ibnul Qayyim Al Jauzi dalam kitabnya Ath Thuruq al Hukmiyyah mengemukakan, “Allah Ta’ala mengutus para Rasul untuk menurunkan kitab-kitab suci-Nya, agar manusia melaksanakan keadilan yang ditegakkan sesuai dengan prinsip-prinsip langit dan bumi. Jika keadilan muncul dan terlihat dalam bentuk apapun, maka itulah syariat Allah dan agama-Nya”.
“Bahkan Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwa garis-garis yang telah ditetapkan itu dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan di kalangan hamba-hamba-Nya dan agar manusia berbuat adil di muka bumi. Cara apa pun yang ditempuh jika sesuai dengan garis-garis yang telah dijelaskan untuk mewujudkan keadilan, adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa politik yang berkeadilan itu bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh syariah, melainkan ia sesuai dengan apa yang dibawa oleh syariah dan bahkan bagian integral dari padanya,” demikian tulis Ibnul Qayyim.
Makna Siyasah
Secara sederhana, kata siyasah dimaknai sebagai politik. Jika kita teliti dengan cermat, memang tidak dijumpai penggunaan kata siyasah dalam Al Qur’an maupun Hadits yang maknanya politik, namun ada banyak konteks yang menunjukkan ketepatan pemaknaan tersebut.
Dalam terminologi Arab, secara umum dipahami bahwa kata siyasah berasal dari kata as saus yang berarti ar riasah (kepengurusan). Jika dikatakan saasa al amra berarti qaama bihi (menangani urusan). Syarat bahwa seseorang berpolitik dalam konteks ini adalah ia melakukan sesuatu yang membawa maslahat, bagi jamaah atau sekumpulan orang.
Sedangkan secara istilah, ditemukan sangat banyak definisi tentang siyasah atau politik, dimana keseluruhannya bisa saling melengkapi. Di antara makna siyasah yang penting adalah:
a. Seni mengatur pemerintahan
Politik tidak identik dengan pemerintahan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu bagian penting politik adalah pemerintahan. Rifa’ah Ath Thahthawi mendefinisikan politik sebagai seni mengatur pemerintahan dan berbagai hal yang terkait dengannya.
“Kajian tentang ilmu ini, perbincangannya, diskusi tentangnya di berbagai forum dan tempat pertemuan, menyelami arusnya, semua itu dinamakan politik. Aktivis di bidang ini disebut politikus. Maka politik berarti segala sesuatu yang bersentuhan dengan pemerintahan, hukum-hukum serta berbagai hal yang berkaitan dengannya”, demikian penjelasan Rifa’ah.
b. Seni mengelola perubahan
Politik juga bisa dimaknai sebagai seni mengelola perubahan. Malik bin Nabi memberikan gambaran bahwa politik adalah “aktivitas yang terorganisir dan efektif yang dilakukan oleh umat secara keseluruhan –negara dan masyarakat- yang sejalan dengan ideologi mayoritas rakyatnya, dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan saling bantu antara pemerintah dan individu dalam aspek sosial, ekonomi dan budaya; agar politik memberikan pengaruhnya yang kongkret pada realitas sosial, yang membawa pada perubahan bingkai kultur dalam sebuah orientasi yang akan menumbuhkan kecerdasan baru secara harmonis”.
Dalam pandangan itu, politik pada akhirnya adalah “penciptaan kultur”; yang oleh karena itu, dalam pandangan Malik bin Nabi, aktivitas membangun taman di kota Kairo juga berarti aktivitas politik. Zaki Najib Mahmud berpendapat bahwa politik adalah “melihat bagaimana kondisi tempat kita hidup ini mengalami perubahan” atau upaya mengubah realitas sosial. Politik berarti bahwa kita menciptakan perubahan untuk mereka dan kita menjadikan mereka bisa melakukan perubahan tersebut untuk diri mereka sendiri.
c. Upaya merealisasikan kebaikan
Dalam perspektif Aristoteles dan para filosof Yunani pada umumnya, politik dimaknai sebagai segala sesuatu yang sifatnya dapat merealisasikan kebaikan di tengah masyarakat.
Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara’. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Aqil bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih menjauhkan dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah saw atau dibawa oleh wahyu Allah Ta’ala.
d. Kepedulian terhadap urusan umat
Selanjutnya politik bisa dimaknai secara lebih luas sebagai kepedulian terhadap berbagai dinamika dan persoalan umat. Hasan Al Banna menyebutkan politik adalah “hal memikirkan persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat”. Yang dimaksud dengan internal adalah “mengurus persoalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritisi jika mereka melakukan kekeliruan”.
Sedangkan sisi eksternal politik dalam wacana Al Banna adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, menghantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya”. Karena persepsi semacam inilah Al Banna dengan tegas mengatakan, “Keislaman seseorang menuntutnya untuk memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa”.
Dari berbagai pengertian tersebut dipahami bahwa cakupan aktivitas politik itu luas. Sejak dari aktivitas individual yang memproses perubahan, sampai aktivitas kolektif dalam partai politik atau dalam urusan pemerintahan. Keseluruhannya masuk wilayah pengertian politik. Dengan pengertian seperti ini, tampak bahwa siyasah termasuk salah satu tugas kerasulan yang penting, sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (Al Hadid: 25).
Dakwah dan Siyasah
Kehadiran Islam dalam wujud sebuah institusi yang menata, mengelola, dan mengendalikan pemerintahan telah menjadi obsesi Hasan Al-Banna sebagaimana ungkapannya yang disampaikan kepada para pemuda:
“Adalah sangat mengherankan sebuah paham seperti komunisme memiliki negara yang melindunginya, yang mendakwahkan ajarannya, yang menegakkan prinsip-prinsipnya, dan menggiring masyarakat untuk menuju ke sana. Demikian juga paham fasisme dan Nazisme, keduanya memiliki bangsa yang mensucikan ajarannya, berjuang untuk menegakkannya, menanamkan kebanggaan kepada para pengikutnya, menundukkan seluruh bangsa-bangsa lain untuk mengekor kepadanya. Dan lebih mengherankan lagi, kita dapati berbagai ragam ideologi sosial politik di dunia ini bersatu untuk menjadi pendukung setianya”.
”Mereka perjuangkan tegaknya dengan jiwa, pikiran, pena, harta benda, dan kesungguhan yang paripurna, hidup dan mati dipersembahkan untuknya. Namun sebaliknya, kita tidak mendapatkan tegaknya suatu pemerintahan Islam yang bekerja untuk menegakkan kewajiban dakwah Islam, yang menghimpun berbagai sisi positif yang ada di seluruh aliran ideologi dan membuang sisi negatifnya. Lalu ia persembahkan itu kepada seluruh bangsa sebagai ideologi alternatif dunia yang memberi solusi yang benar dan jelas bagi seluruh persoalan umat manusia.”
Berpolitik tidak selalu identik dengan urusan partai politik. Partai hanyalah salah satu sarana dalam urusan politik. Terhadap partai politik yang berkembang di Mesir saat itu Al-Banna mempunyai kritikan yang mendasar, “Kami berkeyakinan bahwa partai-partai politik yang ada di Mesir didirikan dalam suasana yang tidak kondusif. Sebagian besar didorong oleh ambisi pribadi, bukan demi kemaslahatan umum …. Kami juga berkeyakinan bahwa partai-partai yang ada hingga kini belum dapat menentukan program dan manhajnya secara pasti … Kami berkeyakinan bahwa hizbiyah (sistem kepartaian) yang seperti itu akan merusak seluruh tatanan kehidupan, memberangus kemaslahatan, merusak akhlaq, dan memporakporandakan kesatuan umat.”
Sebagai aktivis dakwah, Hasan Al Banna telah merangkaikan hubungan-hubungan yang khas antara dakwah dengan aktivitas politik. Teori ishlah (reformasi) yang dirumuskan Al Banna adalah teori yang jelas dan komprehensif.
“Sesungguhnya terapi bagi keterpurukan, perpecahan kata, kehancuran dan kemunduran peradaban umat Islam tidak bisa dilakukan dengan terapi tunggal, ia harus dengan terapi komprehensif. Begitu juga manhaj reformasi untuk membebaskan umat Islam dari keterpurukannya haruslah komprehensif tanpa memprioritaskan manhaj salah satu reformis, tetapi harus mencakup seluruh unsur ishlahi. Dengan itulah semua kondisi umat Islam akan membaik,” demikian pendapat Al Banna.
Untuk menegaskan hakikat ini, bahwa dakwah memperjuangkan tegaknya sistem kehidupan yang utuh dan integral, beliau menjelaskan:
“Produk pemahaman secara umum dan utuh tentang ini menurut kami adalah, bahwa gagasan pemikiran mereka mencakup seluruh aspek perbaikan masyarakat. Termasuk dalam bagiannya adalah semua unsur lain yang merupakan gagasan perbaikan pula. Karena itu, semua reformis yang tulus dan penuh perhatian akan mendapati apa yang diinginkannya di sana. Maka bertemulah cita-cita pencinta reformasi yang memahami dan mengetahui visinya. Engkau dapat mengatakan, dan itu tidak mengapa, bahwa gerakan dakwah adalah tatanan politik, karena para kadernya menuntut perbaikan hukum di dalam negeri dan menuntut kaji ulang terhadap hubungan umat dengan bangsa lain di luar negeri, juga pendidikan masyarakatnya agar mencapai kehormatan, kemuliaan, perhatian kepada kebangsaannya, hingga batas yang paling jauh”.
Arkan Al-Fahmu dengan 20 prinsip yang dikemukakan Al Banna merupakan deklarasi bahwa Islam adalah solusi, bukan problem. Karena Islam adalah solusi maka kaidah-kaidah yang ada dalam Al-Fahmu ini akan menjadi modal pemahaman dasar dalam beramal siyasi. Sebagai contoh, kita perhatikan prinsip yang pertama yang menerangkan tentang Syumuliatul Islam.
“Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh) mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, serta pasukan dan pemikiran. Sebagaimana ia juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih”.
Indonesia sebagai salah satu negara yang mengadopsi gagasan demokrasi, sebagaimana berlaku di berbagai negara-negara di dunia, dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundangan-undangan serta konvensi yang ada mengakui dan menjamin hak-hak politik warga negaranya. Pengakuan akan adanya jaminan hak-hak politik rakyat merupakan syarat mutlak adanya legitimasi suatu pemerintahan demokrasi. Dengan kata lain pemerintahan negara akan kehilangan hak moral untuk memerintah apabila sudah tidak dapat menjamin hak-hak dasar rakyatnya, termasuk hak mereka untuk berpolitik.
Hak-hak politik seseorang di samping mendapatkan jaminan dari hukum yang berlaku secara nasional juga dilindungi dalam Piagam Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Jaminan yang sama juga telah ditegaskan oleh syariat Islam, untuk melindungi hak-hak asasi manusia yakni melindungi akal manusia, melindungi kehormatan manusia, melindungi kebersihan keturunan manusia, melindungi hak milik serta melindungi jiwa manusia.
Dalam perspektif gagasan demokrasi, partisipasi politik warga negara, dalam politik tidak hanya terbatas pada pelaksanaan keputusan politik (policy) akan tetapi partisipasi politik meliputi tiga tahap yakni berpartisipasi pertama, pada tahap input untuk bisa berupa dukungan (support) dan juga bisa berupa tuntutan (demands), kedua pada tahap proses perumusan kebijakan, yang ketiga berpartisipasi pada pelaksanaan kebijakan.
Agar seseorang atau sekelompok orang atau komunitas tertentu, termasuk juga komunitas gerakan Islam, dapat berpartisipasi dengan efektif pada ketiga level sebagaimana disebutkan di atas serta agar output dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak merugikan kepentingan umat, maka umat harus menyampaikan aspirasinya melalui wadah-wadah politik yang ada, seperti ormas, partai politik dan kelompok penekan seperti LSM, dan bila telah memungkinkan gerakan dakwah harus terlibat dalam proses pengambilan kebijakan pada setiap level.
Bagi gerakan dakwah, pilihan yang tidak bisa dihindarkan dalam sistem pemerintahan seperti ini adalah mengambil peran partisipasi politik (musyarakah siyasiyah) secara optimal. Musyarakah siyasiyah dimaksudkan untuk mengarahkan pengambilan kebijakan agar mendatangkan kemaslahatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat, serta menghindarkan munculnya kemudharatan dan kerusakan di berbagai bidang kehidupan.
Dalam ungkapan yang lain, musyarakah adalah upaya untuk melakukan hirasatud din dan ri’ayatud dunya, sebagaimana diistilahkan oleh Imam Al Mawardi. Keterlibatan secara langsung dalam pentas perpolitikan, bagi gerakan dakwah tidak ada makna yang lebih penting, kecuali untuk menunaikan dua misi dalam waktu yang bersamaan, yaitu menjaga nilai-nilai luhur agama (hirasatud din) dan memakmurkan dunia (ri’ayatud dunya).
Islam telah meletakkan kewajiban kepada kaum muslimin dan muslimat untuk melakukan upaya perubahan dengan serius dan sistemis, sebagaimana sabda Nabi saw:
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (Riwayat Muslim).
Telah sama-sama diketahui bahwa cara yang efektif untuk mencegah kemungkaran adalah dengan terlibat dalam pengambilan kebijakan atau kekuasaan. Apabila kekuasaan berada di tangan orang-orang shalih, atau didukung oleh orang-orang shalih, maka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menolak kemungkaran dalam kehidupan masyarakat luas. Sebaliknya, jika kekuasaan di tangan orang zhalim, maka akan bisa digunakan untuk mengembangkan kemungkaran dan kezhaliman secara luas.
Tentu saja yang dimaksud dengan kemungkaran yang wajib dicegah bukan hanya terbatas pada zina, judi, mabuk dan penyakit sosial semacam itu. Dr. Yusuf Qaradhawi menampik anggapan sempit seperti itu seraya menambahkan penjelasan, ”Merendahkan harga diri bangsa adalah kemungkaran. Berlaku curang dalam Pemilihan Umum adalah kemungkaran. Enggan memberikan suara (kesaksian) dalam Pemilihan Umum adalah kemungkaran. Menyerahkan urusan kepada orang yang tidak memiliki kompetensi adalah kemungkaran”.
Bahkan menurut Qaradhawi, ”Mencuri kekayaan negara adalah kemungkaran. Memonopoli barang-barang pokok untuk kepentingan pribadi atau kelompok adalah kemungkaran. Menangkap seseorang yang tidak melakukan kesalahan adalah kemungkaran. Menyiksa orang dalam tahanan atau penjara adalah kemungkaran. Memberi dan menerima suap adalah kemungkaran. Menjilat dan memuji pejabat dengan berlebihan adalah kemungkaran.”
Inilah berbagai kemungkaran yang bisa dicegah dengan sarana kekuasaan, sekaligus untuk memastikan berbagai kemaslahatan yang bisa diraih dengan kekuasaan tersebut.
Salah satu sarana perubahan yang cukup efektif dalam sistem demokrasi saat ini adalah partai politik. Untuk itulah beragam gerakan dakwah di berbagai belahan dunia, mulai melibatkan diri dalam partai politik. Bahkan salah seorang tokoh gerakan Salaf di Kuwait, Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq mendukung pembentukan partai politik dan menentang orang-orang yang menolak pembentukan partai politik. Beliau mengungkapkan:
“Lembaga-lembaga dan sarana-sarana (partai-partai dan jama’ah-jama’ah) ini bukan merupakan sesuatu yang haram atau dosa, tetapi ia termasuk dalam mashalih mursalah dan tidak ada nash syar’i yang melarangnya. Pembentukan partai-partai, kelompok-kelompok, atau perkumpulan-perkumpulan dengan segala macam bentuk sistem demokrasi diperbolehkan. Dengan catatan bahwa pendapat dan visinya tidak menetapkan hal-hal yang dilarang agama dan tidak merestui mereka yang berbuat kebatilan. Mereka harus melalui jalan damai dan dakwah yang terbuka, guna mengubah dan menghilangkan politik kekerasan dan terselubung. Ini semua pada hakikatnya terpuji dalam agama, bahkan merupakan pokok dalam berdakwah”.
Jauh masa sebelum itu, Ibnul Qayyim telah mengungkapkan, “Ada bidang politik yang dibangun sesuai dengan maslahat yang berbeda di setiap masa yang berbeda, ada pula syariat umum yang tetap menjadi kewajiban umat hingga hari kiamat. Sedangkan politik mengikuti serta terikat dengan kemaslahatan yang disesuaikan dengan masa dan tempat. Hal ini secara keseluruhan disepakati oleh para ulama”.
Dengan prinsip pemikiran tersebut, kita menyaksikan berbagai gerakan Islam telah memasuki kawasan kelembagaan politik. Sebagai contoh, Jamaah Al Ikhwan Al Muslimun di Mesir pernah berkoalisi dengan Partai Wafd pada Pemilihan Umum tahun 1951. Pernah pula berkoalisi dengan Partai Wafd Baru pada Pemilihan Umum multipartai pertama pada masa pemerintahan Anwar Sadat, kemudian berkoalisi dengan Partai Buruh dan Partai Ahrar dalam Pemilihan Umum berikutnya.
Jamaah Salafiyah di Kuwait ikut ambil bagian dalam Pemilihan Umum, juga berkoalisi dengan tokoh-tokoh dan partai politik lainnya. Jamaah ini memiliki wakil-wakil di parlemen dan juga menteri-menteri dalam kabinet. Jama’at Islami di Pakistan juga berkoalisi dengan partai-partai lainnya dalam membentuk pemerintahan.
Gerakan Islam di Yaman membentuk sebuah partai politik bernama Partai Pembaharuan Islam, berkoalisi dengan partai sekuler, sampai pemimpin Partai Pembaharuan Islam, Syaikh Abdullah Al Ahmar menjadi ketua umum parlemen. Jamaah Al Ikhwan Al Muslimun di Yordania berkoalisi dengan partai-partai lain dan berhasil meraih kursi mayoritas di parlemen.
Gerakan-gerakan Islam di Al Jazair bersama-sama mendirikan Partai Front Penyelamatan Islam (FIS) dan ikut Pemilihan Umum yang berlangsung secara demokratis, akhirnya meraih kemenangan mutlak, meskipun akhirnya dibatalkan secara sepihak oleh junta militer. Gerakan Islam di Turki membentuk partai politik, setelah beberapa kali mengalami pasang surut dan berganti nama, Partai Refah berkoalisi dengan partai-partai sekuler akhirnya meraih dukungan mayoritas dari rakyat, meskipun akhirnya dianulir oleh militer. Bahkan Partai Keadilan dan Pembangunan di Turki telah meraih kemenangan mayoritas dalam Pemilihan Umum tahun 2002.
Lewat kiprah partai politik tersebut, diharapkan gerakan dakwah memiliki peran dan pengaruh positif dalam mengelola pemerintahan negara, sebagaimana cita-cita Syaikh Hasan Al Banna, “memperbaiki pemerintahan sampai menjadi pemerintahan Islam yang sebenarnya; sehingga dapat memainkan perannya sebagai pelayan dan pekerja umat demi kemaslahatannya”.
Mengenai bentuk pemerintahan, tidak menjadi keharusan syariat untuk ditetapkan dengan sebuah bentuk tertentu. Syaikh Hasan Al Banna menjelaskan dengan, “Bentuk dan jenis pemerintahannya tidak menjadi persoalan sepanjang sesuai dengan kaidah-kaidah umum dalam pemerintahan Islam”. Artinya, syariat tidak mengharuskan adanya bentuk pemerintahan tertentu, akan tetapi lebih kepada substansi pemerintahan yang dikehendaki.
Syaikh Said Hawa ketika mengambil pelajaran penting dari ungkapan Al Banna di atas, memberikan penjelasan sebagai berikut: “Jika kita berpegang kepada prinsip-prinsip ini dengan cara pandang yang luas, maka perjalanan menegakkan kedaulatan akan mengambil pola yang relatif lunak. Dengan demikian, kita bisa menjadikan pihak-pihak yang berpotensi memerangi menjadi para pendukung”. Penjelasan ini tampaknya penting dikemukakan, mengingat temperamen beberapa kalangan aktivis yang cenderung menggunakan pola-pola kekerasan dalam upaya untuk perbaikan pemerintahan.
“Kadang-kadang,” tulis Said Hawa, “kita menjumpai suatu sistem yang tidak perlu bermusuhan dengannya. Untuk itu, kita perlu mengembangkan dan menggiringnya menuju kondisi yang lebih baik. Dengan demikian para pendukungnya akan merasa tenang berhadapan dengan kita, namun dengan syarat sistem itu bersesuaian dengan kaidah umum dalam Islam”.
Prinsip ini menampakkan sisi-sisi orisinalitas ajaran Islam yang memang moderat. Praktek penyelenggaraan pemerintahan bukan merupakan wilayah pembahasan yang telah dihukumi dengan qath’i pada aspek bentuk dan teknis, tetapi masuk dalam wilayah ijtihad yang amat elastis. Akan tetapi, bagaimanapun bentuk pemerintahan yang telah dihasilkan lewat ijtihad, esensi sebuah pemerintahan tidak boleh terhilangkan.
Lebih lanjut Al Banna menjelaskan pemerintahan yang dimaksud, “Di antara sifat-sifatnya adalah rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat, bersikap adil sesama manusia, menahan diri dari harta rakyat dan menghemat penggunaannya. Sedangkan kewajiban-kewajibannya antara lain memelihara keamanan, melaksanakan undang-undang, menyebarkan pengajaran, mempersiapkan kekuatan, menjaga kesehatan masyarakat, memelihara kepentingan umum, mengembangkan kekayaan negara, menjaga keselamatan harta benda, meninggikan akhlaq dan menyampaikan dakwah”.
“Adapun hak-haknya, setelah menjalankan semua kewajiban, antara lain: loyalitas, ketaatan dan dukungan jiwa raga yang diberikan oleh rakyat. Apabila pemerintah lalai melaksanakan kewajibannya, maka berilah nasihat dan bimbingan. Jika itu tidak membawa perubahan, maka dicabutlah loyalitas dan ketaatan darinya, karena tidak ada kewajiban untuk taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah”, demikian tulis Al Banna.
Wallahu a’lam bish shawab.
Ad-Da’watu Waludatun
Posted in
Taujihat
|
9/06/2011|
Admin
Puluhan tahun yang lalu, langkah-langkah harakah di sini, di Indonesia, sunyi sepi. Illa ma’allah, kecuali bersama Allah. Mengayunkan kaki seorang diri. Beberapa waktu kemudian dilakukan ta’sis haraki atau ta’sis amali. Dalam ta’sis tanzhimi waktu itu, kita hanya berkumpul empat orang. Kita hanya duduk lesehan, bukan di hotel. Dari hanya empat orang, sekarang di level qiyadah saja sudah ada ratusan orang.
Saya menjadi yakin, kata-kata dari salafu-shalih dalam dakwah ini yang mengatakan, “Ad-Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat mudah beranak pinak. Sangat subur dan mudah berketurunan.
Lihat saja ikhwan dan akhwat yang bergabung dalam dakwah ini, secara biologis pun jumlah anaknya lumayan. Saya kira secara nasional keluarga kita ‘paling berprestasi’, lima, delapan, sepuluh, atau tiga belas orang anak. Ini salah satu indikator bahwa “Ad-Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat subur melahirkan generasi baru. Bahkan secara biologis lebih dulu dibuktikan oleh Allah SWT secara ‘a’iliyah thabi’iyyah.
Secara haraki da’awi pun kita lihat luar biasa. Ini membuat saya di hari tua tersenyum. Rasanya saya tidak perlu berdo’a seperti Nabi Zakaria, yang dikisahkan oleh Allah SWT dalam surah Maryam. Dia merayu dan merajuk kepada Allah SWT, dalam kesepuhan dan kerentaan, beliau masih belum juga memiliki generasi penerus yang akan melanjutkan langkah-langkah dakwah. Langkah-langkah dakwah yang diharapkan dapat diteruskan oleh pewaris itu belum juga muncul, sehingga beliau melanjutkan dengan do’a yang dijelaskan oleh Allah SWT,
“Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai”. (QS. Maryam, 19: 5-6)
Agar menjadi pewaris esensinya adalah pewaris dakwah. Penerus-penerus risalah Nabiyullah Ya’qub ‘alahissalam.
Sepertinya saya tidak perlu berdo’a seperti ini, karena baik secara biologis atau secara haraki pun, Allah telah membuktikan bahwa “Ad-Da’watu Waludatun.”, bahwa dakwah ini sangat subur melahirkan generasi baru, termasuk generasi kepemimpinan. Bahwa dakwah ini mendapat sambutan yang hangat dari generasi terbaik dari umat ini. Bahkan sebetulnya, kalau kita pelajari secara demografis—penduduk negara-negara muslim itu rata-rata banyak. Berarti pula “Ad-Da’watu Waludatun.” Itu berpangkal dari “Al-Ummatu Waludatun.”, bahwa umat kita sangat tinggi populasinya dan mudah beranak pinak. Ada masyaikh dakwah yang mengatakan bahwa di bumi di mana kalimat ‘La Ilaha Illa-llah Muhammadur-Rasulullah’ dikumandangkan, maka segalanya akan subur. Cepat melahirkan betapa pun kondisinya sulit.
Di Palestina dalam kondisi terhimpit, terjajah, tertindas, dan ada pembantaian, perbandingan kelahiran antara Muslimin Palestina dan Yahudi adalah 1 : 50. Yahudi sebelum takut oleh ledakan roket-roket HAMAS, sudah takut oleh ledakan penduduk umat Islam Palestina.
Jadi ikhwan wa akhwat fillah, kalau kemudian para salafu-shalih mengatakan al-mustaqbal lil-Islam dan al-mustaqbal li-da’watina, itu sesuai dengan fitrah pertumbuhan. Baik secara demografis maupun secara dakwah dan harakah.
Harakah dan dakwah kita di Indonesia sangat berpeluang dan paling berpotensi dalam segi pertumbuhan. Kalau dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah sangat jauh. Bahkan dengan saudara-saudara kita di negeri tetangga. Kita sudah memasuki era musyarakah, dengan mizhallah siyasiyah, payung politik yang besar dan lebar. Tersedia medan yang luas untuk bergerak, peluang-peluang juga sangat luas di segala bidang. Dan Alhamdulillah pertumbuhan kader pun sangat menggembirakan. Ini adalah pemberian Allah semata. Umat Islam di Indonesia dengan populasi penduduk lebih dari 220 juta, juga menjadikan harakah dakwah kita populasinya tumbuh pesat. Pertumbuhan itu akan semakin pesat dengan dipicu dan dipacu oleh target-terget yang sudah digariskan dalam kebijakan jama’ah.
Oleh: KH. Hilmi Aminuddin
sumber : AlIntima’
Popular Posts
-
UNDANGAN, Ikhwah fillah... Mari eratkan ukhuwah, raih keberkahan silaturrahim dan majelis ilmu, HADIRI Forum Pengajian Keluarga Sejahter...
-
DCS DPRD II PKS Dapil IV (Banyudono,Ngemplak, Sawit,Sambi) Boyolali Daerah Pemilihan IV Banyudono, Ngemplak, Sawit, Sambi. 1. Nur Achmad...
-
MEMANG tidak sederhana menjadi seorang pemimpin yang legal secara formal dan legitimed (dicintai bawahannya). Sebelum seseorang diakui...
-
Presiden Mesir, Dr Muhammad Mursi menempati urutan ke-4 orang yang paling berpengaruh di dunia versi Majalah Time. Majalah Time mengung...
-
Ikhwati wa akhwati fillah... Melihat berita ttg LHI terkait sapi impor , maka ana sebagai salah satu kader PKS yg mengenal LHI, sangat b...
-
Pada tahun kesepuluh kenabian, istri Nasbi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Khadijah binti Khuwailid, dan pamannya, Abu Thlaib, wafat. Ber...
-
TEMPO.CO , Jakarta - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera melarang semua anggotanya yang duduk di Badan Anggaran untuk memakai ruangan yang ba...
-
Menteri Sosial Salim Segaf al Jufri sangat menikmati naik ojek dari pos pemantauan perbatasan desa Temajuk menuju dusun Camar Bulan. “Kalau...
Recent Stories
Connect with Facebook
Sponsors