Keutamaan Bulan Dzulhijjah
Dzulhijjah adalah salah satu bulan mulia
dalam kalender Islam. Banyak umat Islam yang menantikan kedatangannya,
khususnya para calon jamaah haji, juga tentunya para peternak hewan
qurban. Berikut ini adalah beberapa keutamaan bulan Dzulhijjah yang
mesti kita ketahui dan semoga bisa memancing kita untuk melakukan banyak
amal kebaikan pada bulan tersebut.
1. Dzulhijah termasuk Asyhurul Hurum
Bulan Dzulhijjah adalah salah satu bulan mulia, yang telah Allah Ta’ala sebutkan sebagai asyhurul hurum (bulan-bulan
haram). Maksudnya, saat itu manusia dilarang (diharamkan) untuk
berperang, kecuali dalam keadaan membela diri dan terdesak.[1]
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram …” (QS. Al Maidah (5): 2)
Ayat mulia ini menerangkan secara khusus
keutamaan bulan-bulan haram, yang tidak dimiliki oleh bulan lainnya.
Bulan yang termasuk Asyhurul hurum (bulan-bulan haram) adalahDzulqa’dah, Dzulhijjah, Rajab, dan Muharam. (Sunan At Tirmidzi No. 1512)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعةٌ حرمٌ: ثلاثٌ متوالياتٌ ذو القعدة، وذو الحجة والمحرم، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان”.
“Setahun ada 12 bulan, di antaranya
terdapat 4 bulan haram: tiga yang awal adalah DzulQa’dah, DzulHijjah,
dan Muharam. Sedangkan Rajab yang penuh kemuliaan antara duaJumadil
dan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 3025)
2. Anjuran Banyak Ibadah Pada Sepuluh Hari Pertama (Tanggal 1-10 Dzulhijjah)
Sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah memiliki keutamaan yang besar. Disebutkan dalam Al Quran:
وَالْفَجْرِ (1) وَلَيَالٍ عَشْرٍ (2)
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr (89): 1-2)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan maknanya:
والليالي العشر: المراد بها عشر ذي الحجة. كما قاله ابن عباس، وابن الزبير، ومجاهد، وغير واحد من السلف والخلف.
(Dan demi malam yang sepuluh):
maksudnya adalah sepuluh hari pada Dzulhijjah. Sebagaimana dikatakan
Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubeir, Mujahid, dan lebih dari satu kalangan salaf
dan khalaf.[2]
Ada juga yang mengatakan maksudnya
adalah sepuluh hari awal Muharram, ada juga ulama yang memaknai sepuluh
hari awal Ramadhan. Namun yang benar adalah pendapat yang pertama,[3] yakni sepuluh awal bulan Dzulhijjah.
Keutamaannya pun juga disebutkan dalam As Sunnah. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ
أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا
الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ
يَرْجِعْ بِشَيْءٍ
“Tidak ada amal yang lebih afdhal
dibanding amal pada hari-hari ini.” Mereka bertanya: “Tidak juga jihad?”
Beliau menjawab: “Tidak pula oleh jihad, kecuali seseorang yang keluar
untuk mengorbankan jiwa dan hartanya, lalu dia tidak kembali dengan
sesuatu apa pun.” (HR. Bukhari No. 969)
Imam Ibnu Katsir mengatakan maksud dari “pada hari-hari ini” adalah sepuluh hari Dzulhijjah.[4]
Maka, amal-amal shalih apa pun bisa kita lakukan antara tanggal satu hingga sepuluh Dzulhijjah; sedekah, shalat sunnah, shaum –kecuali
pada sepuluh Dzulhijjah- , silaturrahim, dakwah, jihad, dan lainnya.
Amal-amal ini pada hari-hari itu dinilai lebih afdhal dibanding jihad,
apalagi berjihad pada hari-hari itu, tentu memiliki keutamaan lebih
dibanding jihad pada selain hari-hari itu.
Untuk berpuasa pada sepuluh hari ini, ada dalil khusus sebagaimana diriwayatkan oleh Hafshah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ
يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَ
عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ
Ada empat hal yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah meninggalkannya: puasa ‘Asyura, Al ‘Asyr (puasa 10 hari Dzulhijjah), puasa tiga hari tiap bulan, dan dua rakaat sebelum subuh. (HR. An Nasa’i, dalam As Sunan Al Kubra No. 2724, Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 7048, Ahmad No. 26456)
Hanya saja para ulama mendhaifkan hadits
ini. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Hadits ini dhaif, kecuali
sabdanya: “dua rakaat sebelum subuh,” yang ini shahih. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 26456)
Didhaifkan pula oleh Syaikh Al Albani. (Irwa’ul Ghalil, No. 954)
3. Shaum ‘Arafah (Pada 9 Dzulhijjah)
Dari Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Nabi ditanya tentang puasa hari ‘Arafah,
beliau menjawab: “Menghapuskan dosa tahun lalu dan tahun
kemudian.” (HR. Muslim No. 1162, At Tirmidzi No. 749, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 2805, Ath Thabari dalam Tahdzibul Atsar No. 763, Ahmad No. 22535, 22650. Ibnu Khuzaimah No. 2117, dan ini adalah lafaz Imam Muslim)
Hadits ini menunjukkan sunahnya puasa ‘Arafah.
Apakah Yang Sedang Wuquf Dilarang Berpuasa ‘Arafah?
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة
Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada hari ‘Arafah, kecuali bagi yang sedang di ‘Arafah. (Sunan At Tirmidzi, komentar hadits No. 749)
Apa dasarnya bagi yang sedang wuquf di ‘Arafah dilarang berpuasa?
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang
berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah. (HR. Abu Daud
No. 2440, Ibnu Majah No. 1732, Ahmad No. 8031, An Nasa’i No. 2830, juga
dalam As Sunan Al Kubra No. 2731, Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1587)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al
Hakim, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim tapi keduanya
tidak meriwayatkannya.” (Al Mustadrak No. 1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati penshahihannya.
Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau memasukkannya dalam kitab Shahihnya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar:
قُلْت قَدْ صَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَ وَثَّقَ مَهْدِيًّا الْمَذْكُورَ: ابْنُ حِبَّانَ
Aku berkata: Ibnu khuzaimah telah menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban. (At Talkhish, 2/461-462)
Namun ulama lain menyatakan bahwa hadits ini dhaif.[5]
Mereka menyanggah tashhih (penshahihan) tersebut, karena perawi hadits ini yakni Syahr bin Hausyab dan Mahdi Al Muharibi bukan perawi Bukhari dan Muslim sebagaimana yang diklaim Imam Al Hakim.
Imam Al Munawi mengatakan:
قال الحاكم : على شرط البخاري وردوه بأنه وهم إذ مهدي ليس من رجاله بل قال ابن معين : مجهول ، وقال العقيلي : لا يتابع عليه لضعفه
Berkata Al Hakim: “Sesuai syarat Bukhari,” mereka (para ulama) telah menyanggahnya karena terjadi ketidakjelasan pada Mahdi, dia bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu Ma’in mengatakan: majhul. Al ‘Uqaili mengatakan: “Dia tidak bisa diikuti karena kelemahannya.” (Faidhul Qadir, 6/431)
Lalu, Mahdi Al Muharibi – dia adalah Ibnu Harb Al Hijri, dinyatakan majhul (tidak diketahui) keadaannya oleh para muhadditsin.
Syaikh Al Albani berkata:
قلت : وإسناده ضعيف ومداره عند الجميع على مهدي الهجري وهو مجهول
Aku berkata: isnadnya dhaif, semua sanadnya berputar pada Mahdi Al Hijri, dan dia majhul. (Tamamul Minnah Hal. 410)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata:
إسناده ضعيف، لجهالة مهدي المحاربي -وهو ابن حرب الهجري-، وذكره ابن حبان في “الثقات”، وهو تساهل منه.
Isnadnya dhaif, karena ke-majhul-an Mahdi Al Muharibi, dia adalah Ibnu Harbi Al Hijri, dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya), dia (Ibnu Hibban) memang yang menggampangkannya (untuk ditsiqahkan, pen). (Ta’liq Musnad Ahmad No. 8041)
Telah masyhur bagi para ulama hadits, bahwa Imam Ibnu Hibban adalah imam hadits yang dinilai terlalu mudah men-tsiqah-kan perawi yang majhul.
Majhulnya Mahdi Al Muharibi juga di sebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (At Talkhish Al Habir, 2/461), Imam Al ‘Uqaili mengatakan dalam Adh Dhuafa: “Dia tidak bisa diikuti.” (Ibid)
Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Abu Hatim mengatakan: Laa A’rifuhu – saya tidak mengenalnya. (Imam Ibnu Mulqin, Al Badrul Munir, 5/749)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan:
وفي إسناده نظر، فإن مهدي بن حرب العبدي ليس بمعروف
Dalam isnadnya ada yang perlu dipertimbangkan, karena Mahdi bin Harb Al ‘Abdi bukan orang yang dikenal. (Zaadul Ma’ad, 1/61), begitu pula dikatakan majhul oleh Imam Asy Syaukani. (Nailul Authar, 4/239)
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah
tidak ada yang shahih larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang
sedang di ‘Arafah. Oleh karenanya Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:
لم يثبت أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قد نهى عن صيام هذا اليوم
Tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang berpuasa pada hari ini ( 9 Dzhulhijjah). (Ta’liq Musnad Ahmad, No. 8031)
Tetapi, di sisi lain juga tidak ada yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa ketika wuquf di ‘Arafah.
Diriwayatkan secara shahih:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّهُمْ
شَكُّوا فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
عَرَفَةَ فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحٍ مِنْ لَبَنٍ فَشَرِبَهُ
Dari Ummu Al Fadhl, bahwa mereka ragu tentang berpuasanya Nabi Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari ‘Arafah, lalu dikirimkan kepadanya segelas susu, lalu dia meminumnya. (HR. Bukhari No. 5636)
Oleh karenanya Imam Al ‘Uqaili mengatakan:
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَسَانِيدَ جِيَادٍ
أَنَّهُ لَمْ يَصُمْ يَوْمَ عَرَفَةَ بِهَا وَلَا يَصِحُّ عَنْهُ النَّهْيُ
عَنْ صِيَامِهِ
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan
sanad-sanad yang baik, bahwa Beliau belum pernah berpuasa pada hari
‘Arafah ketika berada di sana, dan tidak ada yang shahih darinya tentang
larangan berpuasa pada hari itu. (Adh Dhuafa, No. 372)
Para sahabat yang utama pun juga tidak pernah berpuasa ketika mereka di ‘Arafah.
Disebutkan oleh Nafi’ –pelayan Ibnu Umar, sebagai berikut:
عن نافع قال سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة بعرفة قال لم يصمه رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا أبو بكر ولا عمر ولا عثمان
Dari Nafi’, dia berkata: Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa hari ‘Arafah ketika di ‘Arafah, dia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berpuasa, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 2825)
Maka, larangan berpuasa pada hari
‘Arafah bagi yang di ‘Arafah tidaklah pasti, di sisi lain, Nabi pun
tidak pernah berpuasa ketika sedang di ‘Arafah, begitu pula para
sahabat setelahnya. Oleh karena itu, kemakruhan berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang sedang wuquf telah diperselisihkan para imam kaum muslimin. Sebagian memakruhkan dan pula ada yang membolehkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau
tidak pernah melakukannya, tetapi juga tidak melarang puasa ‘Arafah bagi
yang wuquf di ‘Arafah.
سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة
فقال حججت مع النبي صلى الله عليه و سلم فلم يصمه وحججت مع أبي بكر فلم
يصمه وحججت مع عمر فلم يصمه وحججت مع عثمان فلم يصمه وأنا لا أصومه ولا أمر
به ولا أنهى عنه
Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa pada hari ‘Arafah, beliau menjawab: “Saya haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
Beliau tidak berpuasa, saya haji bersama Abu Bakar, juga tidak
berpuasa, saya haji bersama Umar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama
‘Utsman dia juga tidak berpuasa, dan saya tidak berpuasa juga, saya
tidak memerintahkan dan tidak melarangnya.” (Sunan Ad Darimi No. 1765. Syaikh Husein Salim Asad berkata:isnaduhu shahih.)
Kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh
saja berpuasa ‘Arafah bagi jamaah haji yang sedang wuquf jika itu tidak
membuatnya lemah. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/25)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan
bahwa tidak dianjurkan mereka berpuasa, walaupun kuat fisiknya,
tujuannya agar mereka kuat berdoa:
أما الحاج فلا يسن له صوم يوم عرفة، بل يسن له فطره وإن كان قوياً، ليقوى على الدعاء، واتباعاً للسنة
Ada pun para haji, tidaklah disunahkan
berpuasa pada hari ‘Arafah, tetapi disunahkan untuk berbuka walau pun
dia orang yang kuat, agar dia kuat untuk banyak berdoa, dan untuk
mengikuti sunah.(Ibid, 3/24) Jadi, menurutnya “tidak disunahkan”, dan tidak disunahkan bukan bermakna tidak boleh.
Namun mayoritas madzhab memakruhkannya, berikut ini rinciannya:
- Hanafiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah jika membuat lemah, begitu juga puasa tarwiyah (8 Dzulhijjah).
- Malikiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah, begitu pula puasa tarwiyah.
- Syafi’iyah: jika jamaah haji mukim di Mekkah, lalu pergi ke ‘Arafah siang hari maka puasanya itu menyelisihi hal yang lebih utama, jika pergi ke ‘Arafah malam hari maka boleh berpuasa. Jika jamaah haji adalah musafir, maka secara mutlak disunahkan untuk berbuka.
- Hanabilah: Disunahkan bagi para jamaah haji berpuasa pada hari ‘Arafah jika wuqufnya malam, bukan wuquf pada siang hari, jika wuqufnya siang maka makruh berpuasa. (Lihat rinciannya dalam Al Fiqhu ‘Alal Madzahib Al Arba’ah, 1/887, karya Syaikh Abdurrahman Al Jazairi)
4. Shalat Idul Adha dan Menyembelih Hewan Qurban
Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman;
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2)
Shalat Idul Adha (juga Idhul Fitri) adalah sunah muakadah. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
شرعت صلاة العيدين في السنة
الاولى من الهجرة، وهي سنة مؤكدة واظب النبي صلى الله عليه وسلم عليها وأمر
الرجال والنساء أن يخرجوا لها.
Disyariatkannya shalat ‘Idain (dua hari raya) pada tahun pertama dari hijrah, dia adalah sunah muakadah yang selalu dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau memerintahkan kaum laki-laki dan wanita untuk keluar meramaikannya. (Fiqhus Sunnah, 1/317)
Ada pun kalangan Hanafiyah berpendapat
wajib, tetapi wajib dalam pengertian madzhab Hanafi adalah kedudukan di
antara sunah dan fardhu.
Disebutkan dalam Al Mausu’ah:
صَلاَةُ الْعِيدَيْنِ وَاجِبَةٌ
عَلَى الْقَوْل الصَّحِيحِ الْمُفْتَى بِهِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ –
وَالْمُرَادُ مِنَ الْوَاجِبِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ : أَنَّهُ مَنْزِلَةٌ
بَيْنَ الْفَرْضِ وَالسُّنَّةِ – وَدَلِيل ذَلِكَ : مُوَاظَبَةُ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا مِنْ دُونِ تَرْكِهَا وَلَوْ
مَرَّةً
Shalat ‘Idain adalah wajib
menurut pendapat yang shahih yang difatwakan oleh kalangan Hanafiyah
–maksud wajib menurut madzhab Hanafi adalah kedudukan yang setara antara
fardhu dan sunah. Dalilnya adalah begitu bersemangatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, Beliau tidak pernah meninggalkannya sekali pun. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/240)
Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah menyatakan sebagai sunah muakadah, dalilnya adalah karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya oleh orang Arab Badui tentang shalat fardhu, Nabi menyebutkan shalat yang lima. Lalu Arab Badui itu bertanya:
هَل عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ ؟ قَال لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
Apakah ada yang selain itu? Nabi menjawab: “Tidak ada, kecuali yang sunah.” (HR. Bukhari No. 46)
Bukti lain bahwa shalat ‘Idain itu
sunah adalah shalat tersebut tidak menggunakan adzan dan iqamah
sebagaimana shalat wajib lainnya. Shalat tersebut sama halnya dengan
shalat sunah lainnya tanpa adzan dan iqamah, seperti dhuha, tahajud, dan
lainnya. Ini menunjukkan bahwa shalat ‘Idain adalah sunah.
Sedangkan Hanabilah mengatakan fardhu kifayah, alasannya adalah karena firman Allah Ta’ala menyebutkan shalat tersebut dengan kalimat perintah: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” (QS. Al Kautsar: 2). Juga karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu merutinkannya. (Ibid, 27/240)
Insya Allah, secara khusus pada kesempatan lain akan kami bahas pula adab-adab pada hari raya.
Selanjutnya berqurban, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Para ulama berbeda pendapat tentang
hukumnya, ada yang mengatakan wajib bagi yang memiliki kelapangan
rezeki, ada pula yang mengatakan sunah mu’akadah, dan inilah pendapat mayoritas sahabat, tabi’in, dan para ulama.
Ulama yang mewajibkan berdalil dengan hadits berikut, dari Abu Hurairah Radhiallhu ‘Anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan
(rezeki) dan dia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat shalat
kami.” (HR. Ibnu Majah No. 3123, Al Hakim No. 7565, Ahmad No. 8273, Ad
Daruquthni No. 53, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 7334)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 7565, katanya:“Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tapi keduanya tidak meriwayatkannya.” Imam Adz Dzahabi menyepakati hal ini.
Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 6490, namun hanya menghasankan dalam kitab lainnya seperti At Ta’liq Ar Raghib, 2/103, dan Takhrij Musykilat Al Faqr,No. 102.
Sementara Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mendhaifkan hadits ini, dan beliau mengkritik Imam Al Hakim dan Imam Adz
Dzahabi dengan sebutan: “wa huwa wahm minhuma – ini adalah
wahm (samar/tidak jelas/ragu) dari keduanya.” Beliau juga menyebut
penghasanan yang dilakukan Syaikh Al Albani dengan sebutan: “fa akhtha’a – keliru/salah.” (Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 8273)
Mengomentari hadits ini, berkata Imam Amir Ash Shan’ani Rahimahullah:
وَقَدْ اسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى
وُجُوبِ التَّضْحِيَةِ عَلَى مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ لِأَنَّهُ لَمَّا
نَهَى عَنْ قُرْبَانِ الْمُصَلَّى دَلَّ عَلَى أَنَّهُ تَرَكَ وَاجِبًا
كَأَنَّهُ يَقُولُ لَا فَائِدَةَ فِي الصَّلَاةِ مَعَ تَرْكِ هَذَا
الْوَاجِبِ وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى { فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ }
وَلِحَدِيثِ مِخْنَفِ بْنِ سُلَيْمٍ مَرْفُوعًا { عَلَى أَهْلِ كُلِّ
بَيْتٍ فِي كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةٌ } دَلَّ لَفْظُهُ عَلَى الْوُجُوبِ ،
وَالْوُجُوبُ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ
“Hadits ini dijadikan dalil wajibnya
berkurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki, hal ini jelas ketika
Rasulullah melarang mendekati tempat shalat, larangan itu menunjukkan
bahwa hal itu merupakan meninggalkan kewajiban, seakan Beliau
mengatakan shalatnya tidak bermanfaat jika meninggalkan kewajiban ini.
Juga karena firmanNya: “maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” Dalam hadits Mikhnaf bin Sulaim secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah) berbunyi: “ (wajib) atas penduduk setiap rumah pada tiap tahunnya untuk berkurban.” Lafaz hadits ini menunjukkan wajibnya. Pendapat yang menyatakan wajib adalah dari Imam Abu Hanifah.[6]
Sementara yang tidak mewajibkan, menyatakan bahwa dua hadits di atas tidak bisa dijadikan hujjah (dalil), sebab yang pertama mauquf (hanya sampai sahabat nabi, bukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), hadits kedua dha’if. Sedangkan ayat Fashalli li Rabbika wanhar, tidak bermakna wajib kurban melainkan menunjukkan urutan aktifitas, yakni menyembelih kurban dilakukan setelah shalat Id.
Berikut keterangan dari Imam Ash Shan’ani:
وَقِيلَ لَا تَجِبُ
وَالْحَدِيثُ الْأَوَّلُ مَوْقُوفٌ فَلَا حُجَّةَ فِيهِ وَالثَّانِي ضَعْفٌ
بِأَبِي رَمْلَةَ قَالَ الْخَطَّابِيُّ : إنَّهُ مَجْهُولٌ وَالْآيَةُ
مُحْتَمِلَةٌ فَقَدْ فُسِّرَ قَوْلُهُ ( { وَانْحَرْ } ) بِوَضْعِ الْكَفِّ
عَلَى النَّحْرِ فِي الصَّلَاةِ أَخْرَجَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ وَابْنُ
شَاهِينَ فِي سُنَنِهِ وَابْنُ مَرْدُوَيْهِ وَالْبَيْهَقِيُّ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ وَفِيهِ رِوَايَاتٌ عَنْ الصَّحَابَةِ مِثْلُ ذَلِكَ وَلَوْ
سُلِّمَ فَهِيَ دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ النَّحْرَ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ
تَعْيِينٌ لِوَقْتِهِ لَا لِوُجُوبِهِ كَأَنَّهُ يَقُولُ إذَا نَحَرْت
فَبَعْدَ صَلَاةِ الْعِيدِ فَإِنَّهُ قَدْ أَخْرَجَ ابْنُ جَرِيرٍ عَنْ
أَنَسٍ { كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْحَرُ
قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَأُمِرَ أَنْ يُصَلِّيَ ثُمَّ يَنْحَرُ }
وَلِضَعْفِ أَدِلَّةِ الْوُجُوبِ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ مِنْ الصَّحَابَةِ
وَالتَّابِعِينَ وَالْفُقَهَاءِ إلَى أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ بَلْ
قَالَ ابْنُ حَزْمٍ لَا يَصِحُّ عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهَا
وَاجِبَةٌ .
“Dikatakan: Tidak wajib, karena hadits pertama adalah mauquf dan tidak bisa dijadikan hujjah (dalil). Hadits kedua (dari Mikhnaf bin Sulaim) dhaif karena dalam sanadnya ada Abu Ramlah. Berkata Imam Al Khathabi: “Dia itu majhul (tidak dikenal).” Sedangkan firmanNya: “…berkurbanlah.”adalah tentang penentuan waktu penyembelihan setelah shalat. Telah diriwayatkan oleh Abu Hatim, Ibnu Syahin di dalam sunan-nya,
Ibnu Mardawaih, dan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas dan didalamnya terdapat
beberapa riwayat dari sahabat yang seperti ini, yang menunjukkan bahwa
menyembelih kurban itu dilakukan setelah shalat (‘Ied). Maka ayat itu
secara khusus menjelaskan tentang waktu penyembelihnnya, bukan
menunjukkan kewajibannya. Seolah berfirman: Jika engkau menyembelih
maka (lakukan) setelah shalat ‘Ied. Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari
Anas: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah
menyembelih sebelum shalat Id, lalu Beliau diperintahkan untuk shalat
dulu baru kemudian menyembelih.” Maka nyatalah kelemahan alasan mereka yang mewajibkannya. Sedangkan, madzhab jumhur (mayoritas) dari sahabat, tabi’in, dan ahli fiqih, bahwa menyembelih qurban adalah sunah mu’akkadah, bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan tidak ada yang shahih satu pun dari kalangan sahabat yang menunjukkan kewajibannya.”[7]
Seandainya hadits-hadits di atas shahih, itu pun tidak menunjukkan kewajibannya. Sebab dalam riwayat lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
“Jika kalian memasuki tanggal 10 (Dzulhijjah) dan hendak berkurban maka janganlah dia menyentuh sedikit pun dari rambutnya dan kulitnya.” (HR. Muslim No. 1977)[8]
Hadits tersebut dengan jelas menyebutkan
bahwa berkurban itu terkait dengan kehendak, manusianya oleh karena itu
Imam Asy Syafi’i menjadikan hadits ini sebagai dalil tidak wajibnya
berkurban alias sunah.
Berikut ini keterangannya:
قال الشافعي إن قوله فأراد أحدكم يدل على عدم الوجوب
Berkata Asy Syafi’i: “Sesungguhnya sabdanya “lalu kalian berkehendak”menunjukkan ketidak wajibannya.[9]
Insya Allah tentang Fiqih Qurban akan kami bahas pada hari-hari yang akan datang.
5. Tidak Berpuasa pada Hari Raya (10 Dzulhijah) dan hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari ‘Arafah, hari penyembelihan qurban,
hari-hari tasyriq, adalah hari raya kita para pemeluk islam, itu adalah
hari-hari makan dan minum. (HR. At Tirmidzi No. 773, katanya:hasan shahih, Ad Darimi No. 1764)[10]
Dari Nubaisyah Al Hudzalli, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.” (HR. Muslim No. 1141)
Inilah di antara dalil agar kita tidak
berpuasa pada hari raya dan hari-hari tasyriq, karena itu adalah hari
untuk makan dan minum. Sedangkan untuk puasa pada hari ‘Arafah sudah
dibahas pada bagian sebelumnya.
Imam At Tirmidzi berkata:
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ
أَهْلِ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ الصِّيَامَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ إِلَّا
أَنَّ قَوْمًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ رَخَّصُوا لِلْمُتَمَتِّعِ إِذَا لَمْ يَجِدْ
هَدْيًا وَلَمْ يَصُمْ فِي الْعَشْرِ أَنْ يَصُومَ أَيَّامَ التَّشْرِيقِ
وَبِهِ يَقُولُ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَقُ
Para ulama mengamalkan hadits ini, bahwa
mereka memakruhkan berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali sekelompok
kaum dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdan selain mereka, yang memberikan keringanan untuk berpuasa pada hari-hari tasyriq bagi orang yang berhaji tamattu’ jika belum mendapatkan hewan untuk berqurban dan dia belum berpuasa pada hari yang sepuluh (pada bulan Dzulhijjah, pen). Inilah pendapat Malik bin Anas, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At Tirmidzi, lihat komentar hadits No. 773)
Pada saat itu dibolehkan mengadakan acara (haflah) makan dan minum, karena memang kaum muslimin sedang berbahagia. Hal itu sama sekali bukan perbuatan yang dibenci.
Al Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan terhadap hadits ini, katanya:
وأن الأكل والشرب في المحافل مباح ولا كراهة فيه
“Sesungguhnya makan dan minum pada berbagai acara adalah mubah dan tidak ada kemakruhan di dalamnya.”[11]
6. Berdzikir Kepada Allah Ta’ala pada hari-hari Tasyriq
Dalam riwayat Imam Muslim, dari Nubaisyah Al Hudzalli, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum. (HR. Muslim No. 1141), dan dalam riwayat Abu Al Malih ada tambahan: “dan hari berdzikir kepada Allah.” (HR. Muslim No. 1141)
Pada hari-hari tasyriq kita dianjurkan
banyak berdzikir, karena Nabi juga mengatakan hari tasyriq adalah hari
berdzikir kepada Allah Ta’ala. Agar kebahagian dan pesta kaum muslimin
tetap dalam bingkai kebaikan, dan tidak berlebihan.
Imam Ibnu Habib menjelaskan tentang berdzikir pada hari-hari tasyriq:
يَنْبَغِي لِأَهْلِ مِنًى
وَغَيْرِهِمْ أَنْ يُكَبِّرُوا أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ إِذَا اِرْتَفَعَ
ثُمَّ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ بِالْعَشِيِّ وَكَذَلِكَ فَعَلَ
وَأَمَّا أَهْلُ الْآفَاقِ وَغَيْرُهُمْ فَفِي خُرُوجِهِمْ إِلَى
الْمُصَلَّى وَفِي دُبُرِ الصَّلَوَاتِ وَيُكَبِّرُونَ فِي خِلَالِ ذَلِكَ
وَلَا يَجْهَرُونَ
Hendaknya bagi penduduk Mina dan selain mereka untuk bertakbir pada awal siang (maksudnya pagi, pen),
lalu ketika matahari meninggi, lalu ketika matahari tergelincir,
kemudian pada saat malam, demikian juga yang dilakukan. Ada pun penduduk
seluruh ufuk dan selain mereka, pada setiap keluarnya mereka ke tempat
shalat dan setelah shalat hendaknya mereka bertakbir pada saat itu, dan
tidak dikeraskan.[12]
Maka, boleh saja bertakbir saat
hari-hari tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah) sebagaimana yang kita lihat
pada sebagian masjid dan surau, yang mereka lakukan setelah shalat. Hal
ini berbeda dengan Idul Fithri yang bertakbirnya hanya sampai naiknya
khatib ke mimbar ketika shalat Idul Fithri, yaitu takbir dalam artian
‘takbiran’-nya hari raya. Ada pun sekedar mengucapkan takbir (Allahu Akbar) tentunya boleh kapan pun juga.
Demikian. Semoga bermanfaat …….
Wallahu A’lam
[1] Sebagian imam ahli tafsir menyebutkan bahwa, hukum berperang pada bulan-bulan haram adalah dibolehkan, sebab ayat ini telah mansukh (direvisi) secara hukum oleh ayat: “Perangilah orang-orang musyrik di mana saja kalian menjumpainya ….”. Sementara, ahli tafsir lainnya mengatakan, bahwa ayat ini tidak mansukh, sehingga
larangan berperang pada bulan itu tetap berlaku kecuali darurat. Dan,
Imam Ibnu Jarir lebih menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa ayat
ini mansukh (direvisi) hukumnya. (Jami’ Al Bayan,
9/478-479. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Imam Ibnu Rajab mengatakan
kebolehan berperang pada bulan-bulan haram adalah pendapat jumhur
(mayoritas ulama), pelarangan hanya terjadi pada awal-awal Islam. (Lathaif Al Ma’arif Hal. 116. Mawqi’ Ruh Al Islam)
[2] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Dar Ath Thayyibah
[3] Ibid
[4] Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 8/390. Lihat Syaikh Sayyid Ath Thanthawi, Al Wasith, 1/4497. Mawqi’ At Tafasir
[5] Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Ta’liq Musnad Ahmad No. 8031, Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya seperti Tamamul Minnah Hal. 410, At Ta’liq Ar Raghib, 2/77, Dhaif Abi Daud No. 461, dan lainnya
[6] Subulus Salam, 4/91
[7] Ibid
[8] Berkata Imam An Nawawi tentang maksud hadits ini:
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ دَخَلَتْ عَلَيْهِ عَشْر ذِي
الْحِجَّة وَأَرَادَ أَنْ يُضَحِّيَ فَقَالَ سَعِيد بْن الْمُسَيِّب
وَرَبِيعَة وَأَحْمَد وَإِسْحَاق وَدَاوُد وَبَعْض أَصْحَاب الشَّافِعِيّ :
إِنَّهُ يَحْرُم عَلَيْهِ أَخْذ شَيْء مِنْ شَعْره وَأَظْفَاره حَتَّى
يُضَحِّي فِي وَقْت الْأُضْحِيَّة ، وَقَالَ الشَّافِعِيّ وَأَصْحَابه :
هُوَ مَكْرُوه كَرَاهَة تَنْزِيه وَلَيْسَ بِحَرَامٍ ، وَقَالَ أَبُو
حَنِيفَة : لَا يُكْرَه ، وَقَالَ مَالِك فِي رِوَايَة : لَا يُكْرَه ،
وَفِي رِوَايَة : يُكْرَه ، وَفِي رِوَايَة : يَحْرُم فِي التَّطَوُّع دُون
الْوَاجِب .
Ulama berbeda pendapat tentang orang yang memasuki 10 hari bulan
Zulhijjah dan orang yang hendak berquban. Sa’id bin Al Musayyib,
Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud, dan sebagian pengikut Asy Syafi’I
mengatakan: sesungguhnya haram baginya memotong rambut dan kukunya
sampai dia berqurban pada waktu berqurban. Asy Syafi’i dan pengikutnya
mengatakan: hal itu makruh, yakni makruh tanzih (makruh mendekati
boleh), tidak haram. Abu Hanifah mengatakan: tidak makruh. Malik
mengatakan: tidak makruh. Pada riwayat lain dari Malik; makruh. Pada
riwayat lain: diharamkan pada haji yang sunah, bukan yang wajib. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/472)
[9] Subulus Salam, 4/91
[10] Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: isnaduhu shahih. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1586, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tetapi mereka tidak meriwayatkannya.”
[11] Fathul Bari, 4/238
[12] Imam Abul Walid Al Baji, Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, 2/463
Sumber :http://www.hasanalbanna.com/keutamaan-bulan-dzulhijjah-dan-amalan-amalan-utamanya/?utm_source=feedburner&utm_medium=feed&utm_campaign=Feed%3A+hasanalbanna+%28hasanalbanna.com%29
Posted in
Artikel
Related posts:
If you enjoyed this article, subscribe to receive more great content just like it.
Popular Posts
-
UNDANGAN, Ikhwah fillah... Mari eratkan ukhuwah, raih keberkahan silaturrahim dan majelis ilmu, HADIRI Forum Pengajian Keluarga Sejahter...
-
DCS DPRD II PKS Dapil IV (Banyudono,Ngemplak, Sawit,Sambi) Boyolali Daerah Pemilihan IV Banyudono, Ngemplak, Sawit, Sambi. 1. Nur Achmad...
-
MEMANG tidak sederhana menjadi seorang pemimpin yang legal secara formal dan legitimed (dicintai bawahannya). Sebelum seseorang diakui...
-
Presiden Mesir, Dr Muhammad Mursi menempati urutan ke-4 orang yang paling berpengaruh di dunia versi Majalah Time. Majalah Time mengung...
-
Ikhwati wa akhwati fillah... Melihat berita ttg LHI terkait sapi impor , maka ana sebagai salah satu kader PKS yg mengenal LHI, sangat b...
-
Pada tahun kesepuluh kenabian, istri Nasbi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Khadijah binti Khuwailid, dan pamannya, Abu Thlaib, wafat. Ber...
-
TEMPO.CO , Jakarta - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera melarang semua anggotanya yang duduk di Badan Anggaran untuk memakai ruangan yang ba...
-
Menteri Sosial Salim Segaf al Jufri sangat menikmati naik ojek dari pos pemantauan perbatasan desa Temajuk menuju dusun Camar Bulan. “Kalau...
Recent Stories
Connect with Facebook
Sponsors
Search
Archives
-
▼
2012
(104)
-
▼
Oktober
(16)
- Halal Haram Subjek Gambar
- PKS : Pemilu Murah Jika TVRI dan RRI Direvitalisasi
- PKS Yakin Parpol Islam Tidak Redup di 2014
- 16 Partai Politik Lolos Verifikasi Administrasi
- Politik Pengorbanan
- Salafi Mesir Kembali Dirikan Partai Baru
- Tujuh Poin Sikap MUI Terkait Putusan MA Mengenai H...
- Internet Sehat, Dakwah Dahsyat
- Keutamaan Bulan Dzulhijjah
- PKS Jadikan Hasil Survei Sebagai Bahan Koreksi
- Terinspirasi Jokowi, PKS Coba Kuasai Dunia Maya De...
- Bai’at dan Kedudukannya dalam Islam
- PKS: Gedung Baru KPK Doping Tuntaskan Kasus Century
- Aleg PKS Kecam Pembatalan Hukuman Mati Gembong Nar...
- Seluruh Anggota Fraksi PKS Siap Berbatik Ria Hari Ini
- Hari Ini 100 Ribu Kader PKS Datangi Dubes AS
-
▼
Oktober
(16)
Categories
Blog Archives
-
▼
2012
(104)
-
▼
Oktober
(16)
- Halal Haram Subjek Gambar
- PKS : Pemilu Murah Jika TVRI dan RRI Direvitalisasi
- PKS Yakin Parpol Islam Tidak Redup di 2014
- 16 Partai Politik Lolos Verifikasi Administrasi
- Politik Pengorbanan
- Salafi Mesir Kembali Dirikan Partai Baru
- Tujuh Poin Sikap MUI Terkait Putusan MA Mengenai H...
- Internet Sehat, Dakwah Dahsyat
- Keutamaan Bulan Dzulhijjah
- PKS Jadikan Hasil Survei Sebagai Bahan Koreksi
- Terinspirasi Jokowi, PKS Coba Kuasai Dunia Maya De...
- Bai’at dan Kedudukannya dalam Islam
- PKS: Gedung Baru KPK Doping Tuntaskan Kasus Century
- Aleg PKS Kecam Pembatalan Hukuman Mati Gembong Nar...
- Seluruh Anggota Fraksi PKS Siap Berbatik Ria Hari Ini
- Hari Ini 100 Ribu Kader PKS Datangi Dubes AS
-
▼
Oktober
(16)
Recent Comments